Proses pembelajaran Kimia Abad 21
Abad 21 dapat dikatakan sebagai abad pengetahuan – sebuah abad yang ditandai dengan terjadinya transformasi besar-besaran dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri dan berlanjut ke masyarakat berpengetahuan (Soh, Arsyad & Osman, 2010). Proses transformasi ini juga ditandai dengan terjadinya seperangkat perubahan sosial dan budaya masyarakat akibat munculnya globalisasi dan derasnya arus informasi.
Di tengah ketatnya ketidakpastian dan tantangan yang dihadapi setiap orang inilah, maka dibutuhkan perubahan paradigma dalam sistem pendidikan yang harus dapat menyediakan seperangkat keterampilan abad 21 yang dibutuhkan oleh peserta didik guna menghadapi setiap aspek kehidupan global (Soh, Arsad & Osman, 2010). Perubahan yang dimaksud bukanlah menyangkut perubahan konten kurikulum, melainkan perubahan pedagogi, yaitu perubahan dalam bertindak dari simple action ke arah comprehensive action dan peralihan dominasi pengajaran tradisional menuju pengajaran berbasis teknologi.
Jadi, tujuan dari pendidikan abad 21 adalah mendorong peserta didik agar menguasai keterampilan-keterampilan abad 21 yang penting dan berguna bagi mereka agar lebih responsif terhadap perubahan dan perkembangan jaman. Hal yang terpenting dalam pendidikan abad 21 adalah mendorong peserta didik agar memiliki basis pengetahuan dan pemahaman yang mendalam untuk dapat menjadi pembelajar sepanjang hayat (life-long learner). Dengan demikian, system pendidikan perlu mempertimbangkan sejumlah aspek yang menjadi domain dalam pendidikan abad 21. Salah satu domain yang sangat penting dalam pendidikan abad 21 adalah “Digital-Age Literacy” menurut dokumen yang ditetapkan dalam enGauge 21st Century Skills (NCREL & Metiri Group, 2003).
Senada dengan hal tersebut, lewat bukunya yang berjudul The New Division of Labour, Levy & Murnane (2004), mengungkapkan bagaimana komputer mempengaruhi pekerjaan dan memunculkan apa yang disebut sebagai “Otomatisasi”. Levy & Murnane (2004), selanjutnya mengungkapkan bahwa tugas-tugas yang memerlukan keahlian berpikir (expert thinking) dan komunikasi yang kompleks (complex communication) menjadi sangat penting bagi setiap orang dimasa depan, sedangkan tugas-tugas yang bersifat routine cognitive, routine manual dan non-routine manual akan berkurang setiap tahunnya.
Karteristik Abad 21
Richard Crawford menyebut proses transformasi abad 21 ini sebagai Era of Human Capital (dalam Sidi, 2003), suatu era di mana ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi berkembang sangat pesat yang berdampak pada persaingan bebas yang begitu ketat dalam segala aspek kehidupan manusia. Partnership for 21st Century Skills (2008) menggambarkan perubahan tersebut sebagai berikut:
In an economy driven by innovation and knowledge, in marketplaces engaged in intense competition and constant
Perkembangan informasi ini ternyata berdampak luas pada perubahan politik dan ekonomi yang ditandai oleh terjadinya kerjasama skala global-horizontal di seluruh dunia. Dalam skala Asia misalnya, negara-negara yang berada di kawasan ini telah menentukan kesepakatan bersama, yaitu mulai tahun 2003 Asia menerapkan pasar bebas yang disebut dengan Asian Free Trade Area (AFTA) dan Negaranegara di Asia Tenggara menetapkan apa yang disebut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Dengan era pasar bebas tersebut, setiap orang dituntut agar dapat menghadapi persaingan bebas. Untuk dapat bersaing di era globalisasi seperti saat ini, seorang ekonom Alan Bidder (dalam Levy & Murnane, 2004), mengungkapkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, kemampuan membuat keputusan, dan kemampun untuk berkomunikasi menjadi kunci agar kebal terhadap berkembangnya otomatisasi dan globalisasi. Konsekuensi logisnya adalah bahwa keberadaan sumber daya manusia yang unggul dan memadai di masa yang mendatang menempati posisi yang sangat penting dan strategis.
Pendidikan Abad 21
Tidak dapat dipungkiri bahwa ide dasar pendidikan adalah membangun manusia supaya dia bisa survive melindungi diri terhadap alam serta mengatur hubungan antar-manusia, terlebih ketika pendidikan dihadapkan pada era dimana setiap orang harus berkompetisi pada berbagai sektor kehidupan pada abad 21. Dengan demikian, penyelenggaraan pendidikan di abad 21 harus senantiasa adaptif terhadap perubahan jaman.
Sistem pendidikan yang adaptif bermakna perlunya sinergitas antara rancangan proses pendidikan dengan perkembangan pengetahuan terkini yang oleh Hawes-Neisbitt (2005) disebut sebagai ‘modern education’ dan oleh Mark Treadwell (2011) disebut sebagai “Nouvelle Comprehension”. Sadar akan pentingnya tuntutan “penciptaan” SDM yang unggul, maka sistem serta model pendidikan pun harus mengalami transformasi.
Perubahan pendekatan pola penyelenggaraan pembelajaran dari yang berorientasi pada diseminasi materi mata pelajaran menjadi pembelajaran dari berbagai perspektif ilmu pengetahuan (multidisiplin atau ragam mata ajar) menjadi hal krusial yang diperlukan saat ini. Contoh-contoh kasus sehari-hari yang ditemui di masyarakat, masalah-masalah yang bersifat dilematis atau paradoks, tantangan riset yang belum terpecahkan, simulasi kejadian di dunia nyata, merupakan sejumlah contoh materi pelajaran kontekstual yang dapat dicerna oleh peserta ajar dengan mudah. Trilling & Fadel (2009), menyampaikan bahwa di abad 21 pendidikan harus senantiasa bergerak sejalan dengan kemajuan zaman – pergerakan ini didasarkan atas perubahan paradigma pendidikan dari yang bersifat konvensional menuju pendidikan abad modern. Rangkuman pergeseran paradigma tersebut dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini:
Lebih lanjut BNSP (2010), menyatakan bahwa untuk mencapai pendidikan abad 21 diperlukan perubahan pada model pendidikan di masa datang, yakni: proses pembelajaran: dari berpusat pada guru menuju berpusat pada peserta didik, dari isolasi menuju lingkungan jejaring, dari pasif menuju aktifmenyelidiki, dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata, dari pribadi menuju pembelajaran berbasis tim, dari luas menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan, dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru, dari alat tunggal menuju alat multimedia, dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif, dari produksi massa menuju kebutuhan pelanggan, dari usaha sadar tunggal menuju jamak, dan dari satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak.
Aspek keterampilan dalam domain Digital-Age Literacy berdasarkan enGauge 21st Century Skill
Di abad 21, kemampuan literasi tidak hanya terbatas paka kemampuan membaca, mendengar, menulis dan berbicara secara lisan, namun lebih daripada itu, kemampuan literasi ditekankan pada kemampuan literasi yang terkoneksi satu dengan lainnya di era digital seperti saat ini.
NCREL & Metiri Group, (2003), dalam enGauge 21st Century Skills, menyatakan bahwa literasi di era digital mencakup beberapa komponen, antara lain: (1). Literasi dasar – kemampuan dalam berbahasa (khususnya bahasa inggris) dan kemampuan matematis; (2) Literasi sains – pengetahuan dan pemahaman tentang konsep dan proses sains; (3) Literasi teknologi – pengetahuan tentang apa itu teknologi, bagaimana cara kerjanya dan bagaimana cara menggunakannya secara efektif dan efisien; (4) Literasi ekonomi – pengetahuan tentang masalah, situasi dan perkembangan ekonomi; (5) Literasi visual – pengetahuan tentang cara menggunakan, menginterpretasikan dan menghasilkan gambar dan video menggunakan media konvensional dan modern; (6) Literasi informasi – kemampuan untuk memperoleh, menggunakan dan mengevaluasi informasi secara efektif dan efisien dari berbagai sumber; (7) Literasi multicultural – kemampuan untuk mengapresiasi perbedaan nilai, keyakinan dan budaya orang lain; dan (8) Kesadaran global – kemampuan untuk memahami dan permasalahan di tingkat global.
Pengertian Literasi Sains dan Literasi Kimia
Literasi sains (LS) sebenarnya bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan. Namun, sejak dua dekade terakhir, literasi sains menjadi topik utama dalam setiap pembicaraan mengenai tujuan pendidikan sains di sekolah. Literatur dalam bidang pendidikan sains juga menunjukkan bahwa literasi sains semakin diterima dan dinilai oleh para pendidik sebagai hasil belajar yang diharapkan (Lederman, 2014). Trend dalam kebijakan pendidikan sains di abad 21 ini menekankan pentingnya literasi sains dalam pendidikan sains sebagai transferable outcome (Fives et al, 2014). Diskusi tentang tujuan pendidikan sains seringkali diawali dengan isu “literasi sains” dan frasa itu mewakili harapan kita tentang apa yang seharusnya diketahui dan mampu dilakukan oleh siswa sebagai hasil dari pengalaman belajarnya. Walaupun sebenarnya, pengertian literasi sains itu sendiri jika dikaitkan dengan implementasi pembelajarannya di kelas masih dapat diperdebatkan karena istilah literasi sains itu cenderung abstrak sehingga menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam berkaitan dengan hasil belajar yang diharapkan. Namun secara global telah disepakati bahwa tujuan utama mengembangkan literasi sains adalah agar siswa memiliki kemampuan dalam memahami perdebatan sosial mengenai permasalahan-permasalahan yang terkait sains dan teknologi dan turut berpartisipasi didalam perdebatan itu (Roth & Lee, 2004). Literasi sains memfokuskan pada membangun pengetahuan siswa untuk menggunakan konsep sains secara bermakna, berfikir secara kritis dan membuat keputusankeputusan yang seimbang dan memadai terhadap permasalahan-permasalahan yang memiliki relevansi terhadap kehidupan siswa. Akan tetapi masih sering dijumpai bahwa praktek pembelajaran sains di berbagai negara mengabaikan dimensi sosial pendidikan sains dan dorongan untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan siswa yang diperlukan untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat (Hofstein, Eilks & Bybee, 2011).
Definisi literasi kimia berasal dari definisi literasi sains dan dapat didefinisikan dari dua kerangka teoritis utama, yaitu definisi Program for International Student Assessment, PISA (OECD, 2006; OECD, 2015) dan definisi Shwartz et al (2005, 2006a) yang dibangun atas dasar kesepakatan antara ilmuwan, pendidik, dan guru kimia Sebenarnya, kedua definisi ini bersumber dari definisi literasi sains yang dikemukakan oleh Bybee (1997).
OECD (2016:3) menjelaskan bahwa dalam upaya memahami dan terlibat dalam diskusi kritis tentang isu-isu sains dan teknologi, ada tiga kompetensi spesifik dalam literasi sains yang dibutuhkan yaitu menjelaskan fenomena sains secara ilmiah, mengevaluasi dan merancang penyelidikan atau inkuiri, dan menafsirkan data secara ilmiah. Semua kompetensi tersebut membutuhkan pengetahuan. Menjelaskan fenomena sains dan teknologi secara ilmiah membutuhkan pengetahuan tentang materi sains yang disebut pengetahuan konten (content knowledge), kompetensi kedua dan ketiga membutuhkan lebih dari pengetahuan yang diketahui, yaitu pemahaman tentang bagaimana pengetahuan ilmiah tersebut dibangun dan diyakini. Pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan prosedural (procedural knowledge) dan pengetahuan epistemik (epistemic knowledge). Pengetahuan prosedural merupakan standar prosedur yang mendasari metode yang beragam dan praktek yang digunakan untuk membangun pengetahuan ilmiah. Pengetahuan epistemik beberapa menyebutnya sebagai hakekat sains (nature of science) (Lederman, 2006:831), “ide-ide tentang sains” (Millar & Osborne, 1998), atau praktek ilmiah (scientific practices) (NRC, 2012).
Menurut Shwartz et al. (2006a) literasi kimia mencakup empat domain, yaitu:
1. Pengetahuan materi kimia dan gagasan ilmiah
Seorang yang berliterasi kimia akan memahami:
a. Gagasan ilmiah umum
• Kimia adalah disiplin ilmu eksperimental. Kimiawan melakukan inkuiri ilmiah, membuat generalisasi, dan mengajukan teori untuk menjelaskan fenomena alam semesta.
• Kimia menyediakan pengetahuan yang digunakan untuk menjelaskan fenomena dalam bidang lain, misalnya ilmu bumi atau ilmu biologi.
b. Ide-ide pokok kimia
• Kimia mencoba menjelaskan fenomena makroskopis dalam bentuk struktur molekul materi.
• Kimia menyelidiki dinamika proses dan reaksi.
• Kimia menyelidiki perubahan energi yang terjadi dalam reaksi kimia.
• Kimia bertujuan memahami dan menjelaskan kehidupan dikaitkan dengan struktur kimia dan proses dalam sistem kehidupan.
• Kimia menggunakan bahasa khusus. Orang yang berliterasi tidak harus menggunakan bahasa ini, tapi sebaiknya mengapresiasi kontribusi bahasa tersebut pada perkembangan disiplin kimia.
2. Kimia dalam konteks
Seseorang yang berliterasi kimia harus dapat:
• Mengakui pentingnya pengetahuan kimia dalam menjelaskan fenomena/situasi dalam kehidupan sehari-hari.
• Menggunakan pemahamannya tetang kimia dalam kehidupannya sehari-hari, sebagai konsumen produk dan teknologi baru, dalam pengambilan keputusan, dan dalam keikutsertaannya dalam perdebatan sosial tentang isu-isu terkait kimia.
• Memahami hubungan antara inovasi kimia dengan proses sosial.
3. Keterampilan belajar tingkat tinggi
Seseorang yang berliterasi kimia mampu:
• Mengidentifikasi isu-isu ilmiah
• Menjelaskan fenomena ilmiah
• Menggunakan bukti-bukti ilmiah
• Mengevaluasi pro/kontra
• perdebatan.
4. Aspek afektif.
Seseorang yang berliterasi kimia memiliki pandangan yang adil dan rasional terhadap kimia dan aplikasinya, menunjukkannya minat terhadap masalah-masalah terkait kimia, khususnya di lingkungan non formal seperti media massa. Ratcliffe and Millar (2009) mengemukakan bahwa sikap merupakan aspek yang penting dalam literasi sains karena tanggapan siswa terhadap isu-isu ilmiah menunjukkan ketertarikannya terhadap isu-isu tersebut, seberapa besar dukungan mereka terhadap isu-isu tersebut dan rasa tanggung jawab yang mereka miliki terhadap situasi tersebut.
Berdasarkan pembahasan diatas, bagaimana hubungan perkembangan proses pembelaj ran kimia abad 21 dengan literasi? Berikanlah satu contoh pembelajran kimia yang menggunakan prinsip abad 21? Dan berikanlah inovasi yang anda berikan di proses pembelajaran yang saat ini berlangsung?